Berikut adalah tulisan yang cukup menarik terkait gembosnya Dr. Najih Ibrahim yang dulu dalam bukunya banyak menginspirasi mujahid muda untuk berlaga lantang ke medan Jihad.
Tulisan menarik dan mengupas permasalahan runtuhnya semangat Jihad Dr. Najih Ibrahim tersebut, berikut kami kutipkan tulisan Ustadz Abu Rusydan dari kiblat.net.
Orang-orang kafir, munafik, setan, nafsu dan mukmin yang hasad, ada lagi “musuh” mujahid yang sangat berbahaya. Bahkan bahayanya lebih besar dibanding 5 musuh yang terdahulu.
Sebab, lima hal yang disebut di muka gampang dikenali keberadaannya sehingga sensor kewaspadaan kita mudah mencegah dan mengingatkan. Sementara “musuh” berikut ini sifatnya sangat abstrak.
Sehingga kadang seorang Mujahid tidak sadar kalau ia sedang berhadapan dengan “musuh” ini. Dua hal itu adalah: Inhiraaful Ushur ( إنخراف العصور ). Bahasa paling mudahnya, silih-bergantinya zaman (wolak-walik ing zaman: Jawa) dan tamkhis (penyaringan).
Ilustrasi berikut ini mungkin dapat memudahkan kita memahami betapa inhiraaful ushur bisa menjebak Mujahid sehingga berbalik langkah. Suatu hari, di hadapan para shahabat, Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh, di antara kalian yang hadir di majlis ini, ada yang gigi gerahamnya di neraka lebih besar daripada gunung Uhud!” Setelah itu, Abu Hurairah tidak bisa tidur nyenyak. Khawatir. Ia sibukkan diri bertaqarrub kepada Allah, memohon agar orang yang dimaksud Rasulullah SAW sebagai penghuni neraka dengan geraham sebesar Uhud itu, bukan dirinya.
Waktu berlalu, dan orang yang hadir di majlis Rasulullah SAW saat itu, tinggal dua: Abu Hurairah dan Ar-Rajjal bin Unfuwah. Di era kepemimpinan Abu Bakar Ash-Shiddiq terjadilah fitnah kenabian palsu oleh Musailamah Al-Kadzab.
Bermaksud ingin menyelesaikan masalah, Ar-Rajjal meminta izin Khalifah Abu Bakar untuk memediatori Khalifah dan Musailamah. Belakangan, ketika berhadapan dengan Musailama, Ar-Rajjal tersihir oleh kata-kata nabi palsu itu. Akhirnya ia membelot, menjadi pendukung Musailamah Al-Kadzab. Semenjak itu, tenanglah perasaan Abu Hurairah.
Silih bergantinya zaman dengan membawa segenap perbedaan peta perlawanan, kondisi medan serta ragam taktik dan strategi bisa menjadi jebakan mematikan bagi seorang mujahid.
Ia dituntut untuk selalu istiqamah di saat segalanya bisa berubah dengan begitu cepat dan mudah. Oleh sebab itu, kita jumpai orang-orang yang di masa tertentu menjadi ikon jihad yang disegani. Namun di masa berikutnya menjadi kerak yang menyumbat gerakan jihad.
Di negeri ini, misalnya. Berapa banyak tokoh yang dulu dikenal sebagai aktivis pergerakan Islam yang hari ini parkir di ruang demokrasi?
Mengenang jihad Afghanistan yang dulu pernah saya hadiri, ada fragmen-fragmen yang membuat dada saya terasa sesak. Terutama bila mengenang Syaikh Abdur Rabbir Rasul Sayyaf.
Pernah, dalam suatu masa kami, orang-orang Indonesia yang di Afghanistan merasa disia-siakan oleh beberapa orang di sana. Kami merasa dicemooh.
Kami mengadu kepada Syaikh Sayyaf, “Ya Syaikh, kami merasa sudah tidak bermanfaat apa-apa di sini. Keberadaan kami hanya menghabiskan susu, telor dan daging. Bagaimana kalau kami pergi saja dari negeri ini?” Dengan sangat bijak beliau menghibur, “Antum duduk dan diam saja di sini… Itu sudah sangat bermanfaat buat kami. Apalagi antum di sini masih lari-lari dan latihan (i’dad).”
Hari ini, beliau dengan rambut dan janggut yang memutih semua… tubuhnya pun menyusut kurus—padahal dulu, saat berpelukan tangan kami tak kuasa melingkari tubuhnya.
Beliau hari ini duduk di Loya Jirga (semacam Dewan Perwakilan Daerah) di rezim Hamid Karzai. Menyedihkan. Saya masih berharap, pilihan Syaikh Sayyaf untuk duduk di Loya Jirga itu merupaka ijtihad yang masih bisa dibenarkan.
Kesedihan serupa juga, ketika mengenang Ahmad Syah Mas’ud. Komandan dari Lembah Pansyir yang bersumpah akan membebaskan setiap jengkal tanah Afghanistan dari cengkraman orang-orang kafir, pada akhirnya harus berhadap-hadapan melawan mujahidin Taliban.
Saya mengajak kita melihat fenomena di atas sebagai fakta yang kita baca dengan sepenuh salamatus shadr (berlapang dada).
Pembicaraan tentanng inkhiraful ushuur meliputi dua hal:
- Terkait dengan ushuur (zaman) nya itu sendiri. Ada zaman baik, ada zaman buruk. Siapapun tidak ada yang bisa menolak. Termasuk ketika salah seorang shahabat mengeluh kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib RA di mana saat itu mulai tersebar banyak fitnah. “Wahai Ali, mengapa dahulu di zaman Abu Bakar baik-baik saja, tidak terjadi fitnah seperti sekarang?” Sang Khalifah pun menjawab, “Dahulu pemimpinnya Abu Bakar, rakyatnya saya. Lha sekarang pemimpinnya saya, rakyatnya kamu.” Ali bin Abi Thalib… orang yang baik tetapi berada di zaman yang mulai buruk.
Perjuangan merebut Al-Aqsha sudah berlangsung jauh masa sebelum kelahiran Shalahuddin Al-Ayyubi. Hanya saja, menjadi rezeki bagi Shalahuddin, ketika ia tampil pada saat zaman yang baik. Di bawah kepemimpinannya, kaum Muslimin berhasil merebut Al-Aqsha.
Demikian pula dengan perjuangan menaklukkan Konstantinopel. Sudah dilakukan puluhan tahun sebelum kemunculan Muhammad Al-Fatih. Bahkan, konon di dalam benteng Konstantinopel itu terdapat makam shahabat Abu Ayyub Al-Anshoriy.
Tetapi, zaman baik sedang berada di saat Muhammad Al-Fatih memegang tongkat komando. Konstantin pun berhasil ditaklukkan di bawah kepemimpinanya. Shalahuddin dan Al-Fatih… lelaki yang baik, berada di zaman yang sedang baik.
Sekali lagi, baik-buruknya zaman adalah inkhiraful ushuur yang tidak akan sanggup ditolak oleh manusia. Rasulullah SAW bersabda:
بادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا
“Segeralah beramal, sebelum datangnya fitnah seperti potongan malam yang gelap. Di mana seseorang pada pagi hari dalam keadaan iman, lalu sore harinya menjadi kafir. Atau sore hari dalam keadaan mukmin, dan malam hari menjadi kafir. Ia menjual agamanya dengan iming-iming duniawi.” (HR. Muslim).
Oleh sebab itu, inkhiraful ushuur ini patut kita waspadai. Sebagaimana kewaspadaan sekaligus kekhawatiran Abu Hurairah tentang penghuni neraka bergeraham sebesar Uhud di atas.
Bukti kewaspadaan kita terhadap fitnah inkhiraaful ushuur ini berbanding lurus dengan kualitas taqarrub kita kepada Allah. Semakin kita waspada, seharusnya semakin giat kita berusaha mendekat kepada-Nya.
- Tamhish. Kalau berkaitan dengan zaman ada inkhiraaful ushuur, maka terkait personal, dalam menghadapi kondisi zaman yang berubah-ubah itu ada proses tamhish (seleksi).
Selama ini istilah tamhish lebih lekat dengan seleksi yang dilakukan oleh organisasi atau struktur sebuah gerakan terhadap anggota-anggotanya. Padahal, selain tamhish structural tersebut, adapula tamhish rabbani.
Ketika sistem tamhish struktural itu kurang baik sehingga masih meloloskan orang-orang yang semestinya tidak layak sensor, ketahuilah, orang-orang seperti itu tidak akan lolos dari tamhish rabbani.
Kisah Thalut dan pasukannya ketika menyebrang sebuah sungai, memberikan pelajaran berharga tentang tamhish structural dan rabbani tersebut.
Orang-orang yang meminum air sungai itu dengan sendirinya rontok ter-tamhish ketika berhadapan langsung dengan pasukan lawan.
“Sungguh, kita tidak akan mampu menghadapi Jalut dan pasukannya,” kilah mereka. Dan dengan sendirinya, mereka pun terseleksi dari pasukan yang setia bersama Thalut !
(kiblat.net)
0 komentar