Kamis, 11 Juli 2013

Imam Nawawi, Hidup dan Mati untuk Ilmu

 
Di kalangan pengikut madzhab Syafi’i, ia dikenal salah satu guru besar madzhab Syafi’i di zamannya atau digelari dengan “ra’is al-madzhab al-Syafi’i”. Salah satu yang menjadi kelebihannya adalah ia seorang pakar hadis, mendapat julukan al-hafidz.Fikihnya selalu disandarkan kepada hadis. Ia mensyarah kitab shahih Muslim, Syarh Shahih al-Muslim. Di bidang fikih ia terkenal karena menulis kitab fikih monumental, al-Majmu’, syarah kitab al-Muhadzdzab. Di zaman Imam Nawawi, dunia Islam sedang mengalami masa kejayaan di bidang ilmu.
Nama lengkapnya adalah Yahya bin Syaraf bin Murry bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam al-Nawawi. Dilahirkan di daerah bernama Nawa. Sebuah wilayah Hauran, Damaskus pada bulan Muharram tahun 631 H. Ayahnya adalah seorang Syeikh di Hauran. Murid Imam Nawai, Ibn al-‘Attar menceritakan bahwa ayahnya adalah seorang zuhud, wara’, wali Allah.

Hidup Di Zaman Perang
Di masa Imam Nawawi hidup, dunia Islam mengalami peristiwa-peristiwa besar. Kota Baghdad diserang oleh bangsa Tar-Tar. Umat Islam juga pada zamannya mengalami pasang-surut dalam menghadapi perang Salib. Hingga akhirnya, Imam Nawawi mengalami masa dimana umat Islam berhasil mengembalikan kejayaan di bawah Sultan Shalahuddin al-Ayyubi.
Meski wilayah sentral, pusat peradaban Ilmu,  sedang mengalami masa cobaan besar, di zaman Imam Nawawi, di beberapa wilayah Islam tumbuh para ulama-ulama besar yang terkenal. Seperti Ibnu Sholah, Imam al-Rofi’i,  Ibn al-‘Adim, Ibnu Khallikan dan Ibnu ‘Arabi.
Imam Nawawi belajar pertama kali di kota Nawa di bawah asuhan ayahnya. Sebelum usia baligh ia sudah menghafal al-Qur’an. Ketia ia berumur 10 tahun, saat ia sedang menghafal al-Qur’an, seorang ulama besar Damaskus, Syaikh Yasin bin Yusuf al-Maraksyi datang ke rumahnya. Sang Syaikh berkata; “Anak ini semoga menjadi seorang yang paling alim dan zuhud di zamannya serta orang-orang akan mengambil manfaat ilmu darinya”.
Di usia tersebut hari-hari Imam Nawawi dihabiskan dengan membaca dan menghafal al-Qur’an. Sehingga, diceritakan oleh seorang muridnya, bahwa Nawawi kecil dijauhi oleh teman-teman sebayanya, karena tidak mau bermain-main, hanya sibuk membaca al-Qur’an.
Menginjak usia 18 tahun, Imam Nawawi diajak pindah oleh Ayahnya ke Damaskus, disebabkan kota Nawa tidak kondusif lagi untuk memperdalam ilmu. Damaskus pada masa itu dipenuhi para ulama dan menjadi tujuan para penuntut ilmu yang datang dari berbagai penjuru Negara-negara Islam.
Di kota Damaskus dia bertemu dengan Imam Masjid al-Umawiy, Syeikh Jamaluddin Abdul Kafi bin Abdul Malik al-Dimasyqi. Imam Nawawi diberi petunjuk oleh Syeikh Abdul Kafi untuk belajar di halaqah Mufti Syam, Syeikh Tajuddin Abdurrahman bin Ibrahim bin Dhiya al-Fazariy yang terkenal dengan Syeikh Farkah. Dialah guru pertama Imam Nawawi. Bersama Syeikh Farkah ia belajar beberapa tahun. Atas petunjuk Syeikh Farkah ia tinggal di madrasah Rawahiyyah, yaitu madrasah yang bersebelahan dengan Masjid Umawi.
Pada tahun pertama belajar di Damaskus beliau menghafalkan kitab At-Tanbih, kitab fiqih madzhab Syafi’i karya Imam Abu Ishaq Asy-Syairozi dalam waktu 4 setengah bulan, beliau menyetorkan hafalan kitab Tanbih ini pada Qodhil Qudhot Taqiyyuddin Abu Abdillah Muhammad Bin Al-Husain bin Rozin As-Syafi’i yang biasa disebut Syekh Ibnu Rozin. Lalu beliau menghabiskan tahun pertama dengan menghafalkan seperempat awal kitab Al-Muhadzdzab yang juga karya Imam Syairozi.
Sedikit Tidur Dan Penuh Disiplin
Dikisahkan, di madrasah Rawahiyah, Imam Nawawi selama dua tahun tidak bisa tidur normal, seperti biasanya manusia kebanyakan. Imam al-Dzahabi menceritakan ketekunan Imam Nawawi dalam belajar, bahwa siang dan malam dihabiskan untuk belajar. Tidak tidur kecuali memang mengantuk berat. Waktunya difokuskan untuk membaca, menulis kitab, muta’lah dan mengunjungi para Syaikh.
Pada masa awal belajar itu, Imam Nawawi sangat ketat mengatur jadwal mempelajari pelajaran di madrasah. Setiah harinya ia membaca dua belas pelajaran dihadapan para masyayikh Damaskus. Pelajaran yang ia baca misalnya, kitab al-Wasith, al-Muhadzdzab,  al-Jami’ baina al-Shahihain, Shahih Muslim, al-Luma’, Ishlahu al-Mantiq, al-Muntakhob, kitab tashrif, kitab Asma’ Rijal, dan kitab Tauhid.
Imam Nawawi belajar kepada sejumlah Syaikh yang pakar di bidangnya. Ia tidak hanya belajar pada satu dua guru, tapi tercatat ia belajar kepada duapuluh tiga Syaikh. Di antaranya yang utama adalah; guru bidang fikih: Syaikh al-Farkah, Syeikh Abdurrahman bin Nuh al-Maqdisi al-Dimasyqi (mufti Damaskus), di bidang ilmu hadis: Syaikh Ibrahim bin Isa al-Andalusi, Syaikh Abu Ishaq al-Wasithy, Syeikh Zainuddin Abul Baqa’ al-Nablusi, Syeikh Abdul Aziz bin Muhammad al-Anshari al-Syafi’i, Syeikh Zainuddin Abul Abbas bin Abdul Da’im al-Maqdisi,  guru di bidang Ilmu Ushul: Syaikh Abul Fath Umar bin Bandar bin Umar al-Taflisi al-Syafi’i, di bidang Ilmu Nahwu : Syaikh Ahmad bin Salim al-Mishri, Syeikh al-Fakhr al-Maliki dan lain-lain.
Di samping menguasai berbagai ilmu, ilmu yang paling menonjol dikuasai adalah Fikih dan Hadis. Sehingga, di kalangan ulama’ ia dikenal Muhaddis dan Faqih. Ia menguasai madzhab-madzhab para sahabat dan tabi’in beserta ikhtilaf (perbedaan) di antara mereka. Kitab fikihnya yang terkenal adalah Majmu’ syarah kitab Muhadzdzab. Imam Ibn Kastir mengatakan: “Imam Nawawi adalah seorang guru besar madzhab Syafi’i, pembesar ulama’ fikih pada zamannya”. Di bidang hadis ia mensyarah kitab Shahih Muslim dan Shahih Bukhari. Di bidang hadis ia mendapat gelar al-Hafidz. Ilmu Hadis termasuk menjadi perhatian penting Imam Nawawi. Dalam Syarh Muslim ia mengatakan bahwa termasuk ilmu yang paling penting adalah ilmu mengetahui hakikat hadis, matan hadis, mempelajari  status shahih, hasan dan dhaifnya hadis dan hal-hal lain terkait dengan ilmu hadis.
Ketinggian ilmunya diakui ulama-ulama kenamaan. Imam Al-Dzahabi berkata: “Beliau adalah profil manusia yang berpola hidup sangat sederhana dan anti kemewahan. Beliau adalah sosok manusia yang bertaqwa, qana’ah, wara, memiliki muraqabatullah baik di saat sepi maupun ramai. Beliau tidak menyukai kesenangan pribadi seperti berpa-kaian indah, makan-minum lezat, dan tampil mentereng. Makanan beliau adalah roti dengan lauk seadanya. Pakaian beliau adalah pakaian yang seadanya, dan hamparan beliau hanyalah kulit yang disamak”. Diceritkan, Imam Nawawi enggan diberi gelar Muhyiddin, karean tawaddu’nya ia kepada Allah.
Beliau selalu berusaha untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar sekalipun terhadap penguasa. Beliau sering berkirim surat kepada mereka yang berisi nasihat agar berlaku adil dalam mengemban kekuasaan, menghapus cukai, dan mengembalikan hak kepada ahlinya. Abu al-Abbas bin Faraj berkata: “Ia telah berhasil meraih 3 tingkatan yang mana 1 tingkatannya saja jika orang biasa berusaha untuk meraihnya, tentu akan merasa sulit. Tingkatan pertama adalah ilmu (yang dalam dan luas).Tingkatan kedua adalah zuhud (yang sangat). Tingkatan ketiga adalah keberanian dan kepiawaiannya dalam beramar ma’ruf nahi munkar”.
Kitab – Kitab Imam Nawawi
Imam Nawai telah berhasil menulis karya 47 kitab. Ia sebenarnya menulis karya judul lebih dari 47, namun belum sempat terselesaikan sampai beliau wafat pada usia 46 tahun. Karya kitabnya adalah; Syarh Shahih Muslim, al-Raudhah, Minhaju al-Thalibin, al-Adzkar al-Muntakhabah min Kalam Sayyidi al-Abrar, al-Tibyan fi Adabi Hamlati al-Qur’an, al-Tahrir fi Alfadzi al-Tanbih, al-‘Umdah fi Tashihi al-Tanbih, al-Idhah fi al-Manasik, al-Irsyad, al-Arba’in al-Nawawiyah, Bustan al-‘Arifin, Manaqib al-Syafi’i, Mukhtashar Asadul Ghobah, al-Fatawa al-Musammah bi al-Mas’il al-Mantsurah, Adabul Mufti wa al-Mustafti, Masail Takhmis al-Ghonaim, Mukhtashor al-Tadzhib, Daqoiq al-Raudah, Tuhfah Tullabul Fadhail, al-Tarkhish fi al-Ikhram wa al-Qiyam, Mukhtashar Adab al-Istisqa wa Ru’usil Masail, Manarul Huda, al-Maqashid, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Tahdzib al-Asma wa al-Lughat, Syarh al-Wasith, Syarhul Bukhari, Syarh Abi Dawud, al-Imla’ ala Hadits al-A’mal binniyat, Kitabul Amaliy, al-Khulashoh fi Ahadisil Ahkam, Thabaqatul Fuqoha’, al-Tahqiq, Tuhfatul Thalib al-Nabih, Jami’ al-Sunnah, Muhimmatul Ahkam, al-Ushul wa al-Dhawabith, al-Isyarat,Tuhfatul Walid wa Raghbatul Ro’I, Khulasotul Ahkam fi Muhimmatis Sunan wa Qawaidul Islam, Ruhul Masa’il fi al-Furu’, ‘Uyunul Masa’il al-Muhimmah, Ghaitsu al-Naf’ fi Qiraati al-Sab’, al-Mubham min Hurufil Mu’jam, Mir’atuz Zaman fi Tarikhil al-‘A’yan.
Imam Nawawi wafat pada 24 Rajab tahun 676 pada usia 46. Beliau belum sempat menikah. Ketika kabar wafatnya beliau tersiar sampai ke Damaskus, seolah seantero Damaskus dan sekitarnya menangisi kepergian beliau. Kaum muslimin benar-benar merasa kehilangan beliau. Penguasa di saat itu, ’Izzuddin Muhammad bin Sha’igh bersama para jajarannya datang ke makam Imam Nawawi di Nawa untuk menshalatkannya. Dalam kitabnya Syarh al-Muhadzdzab beliau menulis pesan bahwa keutamaan ilmu itu untuk para penuntut ilmu yang mencarinya karena ridha Allah. Hukumnya tercela (madzmum) menuntut ilmu dengan tujuan duniawi, mencari kedudukan, pangkat, kehormatan, atau menginginkan popularitas.

sumber : Bumisyam
Load disqus comments

0 komentar